
METRO24.CO, ACEH SINGKIL – Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Singkil kembali mengangkat isu penting terkait penegakan hukum lingkungan yang diduga tebang pilih. DPRK mendesak Pemerintah Daerah (Pemda) Aceh Singkil untuk segera melakukan audit dan menghitung kerugian negara akibat dugaan pelanggaran garis sepadan sungai oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit besar, PT Socfindo.
Berdasarkan temuan terbaru, sebagian lahan PT Socfindo berada di kawasan garis sepadan sungai, wilayah yang menurut regulasi wajib bebas dari aktivitas pembangunan atau perkebunan guna menjaga kelestarian lingkungan.
Anggota DPRK Aceh Singkil, Warman, menegaskan pentingnya keterlibatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam proses audit dan perhitungan kerugian negara yang berpotensi timbul akibat pelanggaran ini.
“Pelanggaran ini bukan hal sepele. Garis sepadan sungai yang dilanggar dapat menyebabkan kerusakan lingkungan serius dan memicu bencana banjir, terutama saat musim hujan,” ujar Warman pada Minggu (6/7/2025).
Dasar penegakan hukum dalam kasus ini mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor 63 Tahun 1993 tentang Garis Sepadan Sungai, yang kemudian diperbarui dengan Permen PUPR Nomor 28/PRT/M/2015. Regulasi tersebut menetapkan bahwa jarak minimal garis sepadan sungai besar tanpa tanggul di luar kawasan perkotaan adalah 100 meter dari tepi palung sungai, dan untuk sungai kecil minimal 50 meter.
Penghitungan kerugian negara yang diakibatkan oleh pelanggaran meliputi evaluasi dampak kerusakan lingkungan serta kerugian ekonomi, sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan.
Warman juga mengkritik praktik penegakan hukum yang dianggap tidak adil, atau tebang pilih, di mana masyarakat kecil seringkali diperlakukan lebih keras dibanding perusahaan besar.
“Kita tidak boleh membiarkan masyarakat kecil yang hanya mengambil brondolan sawit untuk kebutuhan sehari-hari dihukum, sementara perusahaan besar yang merusak lingkungan bebas dari tindakan hukum,” tegasnya.
Sebagai Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRK, Warman menegaskan bahwa perusahaan yang terbukti melanggar aturan lingkungan tidak layak mendapatkan izin operasional dan legalitas beraktivitas di wilayah Aceh Singkil.
DPRK berharap Pemda Aceh Singkil segera mengambil langkah konkret dengan melakukan audit lingkungan serta pemulihan kawasan garis sepadan sungai sesuai ketentuan yang berlaku. Upaya ini dianggap krusial untuk menjaga kelestarian lingkungan, memastikan keadilan bagi masyarakat, serta menghapus stigma hukum yang tebang pilih. (Fandi)