METRO24.CO, JAKARTA – Marcos Confery Kaban,S.H merupakan seorang praktisi hukum yang giat mengkritik kebijakan-kebijakan hukum yang timpang. Kali ini Marcos memberi kritikan terhadap penaganan dan hukuman yang diberikan kepada Jaksa JOVI ANDREA, terkait permasalahan isu yang lagi viral di media sosial.
1. JOVI ANDREA, adalah seorang jaksa dan Nella Marisa statusnya belum kami ketahui. Apakah PNS atau pegawai honorer sehingga perlakuan terhadap masing masing pihak memiliki payung hukum yang berbeda.
2.Bahwa Jaksa tunduk pada UU 11/2021 perubahan 16/2004 UU ASN NO 20/2023. Terhadap Perlakuannya atau Penanganan nya tentu berbeda dan tidak bisa disamakan.
“Ini ada peralihan isu, karena kita masuk teori kausalitas atau sebab akibat. Penyebab adanya postingan saudara Jovi adalah penggunaan mobil dinas yang tidak tepat oleh seorang pegawai yang menjadi milik fasilitas Kajari. Apakah ini sdh diselesaikan? postingan tersebut infonya benar atau tidak? dan malahan Jovi diserang dengan UU ITE.Kalaupun dia melenceng tentu dilakukan langkah langkah preventive dgn pemeriksaan internal dan apabila salah tentu dikenai sanksi sesuai PP 53 dimulai dari hukuman ringan, menengah dan berat malahan langsung di periksa sebagai tersangka,” ujarnya Marcos, Kamis (21/11/2024).
3. Menurut Marcos, apakah dalam hal ini Jaksa Agung telah memberikan izin pemeriksaan oleh penyidik sebagaimana di atur dalam UU kejaksaan?.
“Apabila Jaksa ada laporan maka terlebih dahulu harus lah mendapat persetujuan dari Jaksa Agung karna profesi jaksa sebagaimana UU kejaksaan adalah pejabat negara sehingga patut diduga ada kriminalisasi dalam penanganan Jaksa Jovi,” Imbuhnya.
4. Tentang pemecatan jaksa Jovi, Marcos menilai dimana dasarnya dia tidak masuk kantor selama 29 hari adalah sesuatu yang tidak masuk akal.
“Karena kan dia sedang ditahan Bagaimana dia mau masuk kantor. Kalaupun ini terjadi antar internal kenapa jadi heboh? Jangan terbalik, Jaksa Agung selalu mengedapankan hati nurani dalam penanganan kasus dengan langkah Restorative justic. Namun kedalam koK menjadi pembunuh untuk anak sendiri. Ini sangat kontradiksi dengan semangat Jaksa agung yang selalu mendengungkan hati nurani,” ungkapnya.
5. Menurut Markos, seharusnya pimpinan baik Kajati maupun Kajari, dapat mengambil tindakan yg arif bijaksana. Ingat bahwa untuk membentuk seseorang yang tamat Sarjana Hukum.
“Berapa biaya yang dikeluarkan negara buat menjadikan seorang jaksa dengan pendidikan PPPJ( Pendidikan Pelatihan Pembentukan Jaksa) dan diklat lainnya sehingga Jaksa adalah Asset negara terlebih yg punya integritas bebas korupsi,” bilangnya.
6. Markos menambahkan, bahwa kurang tepatnya langkah hukum ini dilakukan, sehingga masyarakat merasa rasa keadilan tidak ada di penanganan kasus Jovi. Seharusnya jika Jovi bersalah, Pimpinan seharusnya sifatnya memberikan teguran, pembinaan dan pengarahan terlebih dahulu.
“Hiruk pikuk ini sebaiknya ditangani dengan baik dimana sekarang ada adagium ”No Viral No Justice”. Apabila Jaksa Jovi dipecat dari Kejaksaan, maka Bapak Jaksa Agung dinilai sudah tidak layak jadi Bapak atau ayah kandung dari anak-anaknya yang jadi jaksa, yang menjadi garda terdepan dalam setiap penanganan kasus hukum. Maka dari itu, Jaksa Agung selaku Bapak atau ayah dari anak-anak harus segera diganti dan mencari sosok seorang ayah yang penuh tanggung jawab dan melindungi anak-anaknya khususnya jaksa. Dan saya berharap Bapak Jaksa Agung membatalkan pemecatan terhadap Jaksa Jovi Andrea,” pungkasnya. (rel)