
METRO24.CO, BATU BARA – Semakin mengada-ada saja ulah oknum aparat penegak hukum di Republik Indonesia ini, tingkah nyeleneh yang mengarah pada tindakan penyalahgunaan wewenang dalam jabatan nampaknya mulai turut menjangkiti personel penyidik di Lingkungan Polres Batu Bara, Polda Sumatera Utara.
Pasalnya, ada seorang warga Desa Ujung Kubu, Kecamatan Nibung Hangus, Kabupaten Batu Bara bernama Khairun Nafi (36), yang sehari-harinya berprofesi sebagai wiraswastawan meng-caption kritik disebuah akun FB milik ‘Rosyidin Bara’. Langsung dipanggil sebagai terlapor oleh penyidik unit Tipidkor Polres Batu Bara.
Kuasa hukum (PH) Khairun Nafi, yakni Muhammad Ali Nasution, SH dan Deded Syahputra, SH, MH, membeberkan pemanggilan pertama terhadap ayah dari 2 orang anak ini, pada 22 Mei 2025 yang lalu. Dalam surat panggilan terhadap Nafi, dimuat rujukan payung hukum seperti pasal dalam KUHAP maupun UU RI.
Disurat panggilan itu juga terdapat. point tentang Laporan Pengaduan Masyarakat (Dumas) dan Surat Perintah Penyelidikan, Nomor: SP.Lidik/411/IV/Res.3.3/2025/Reskrim, tertanggal 8 April 2025. Dalam surat panggilan pertama dan kedua disebutkan pula, terlapor Nafi dimohonkan bertemu dengan Kanit III Tipidkor Ipda. Rafi M Nst,SH, MH dan dua penyidik Tipidkor masing-masing Aipda. ASR dan Bripka. MM.
“Aneh, ini pertama di Indonesia. Kasus dugaan ‘Penghinaan’ di Media sosial (Medsos) tapi yang memanggil unit Tipidkor. Maka atas kejadian ini wajar jika kemudian dianggap adanya indikasi pesanan kriminalisasi. Dimana sepertinya ada kesengajaan, bahwa proses hukum diduga dimanipulasi untuk membungkam kebebasan dalam ber-ekpresi,” ujar advokat Ali.
Masih dari penjelasan Muhammad Ali Nasution, soal kebebasan yang dimaksud yakni terkait kritik terhadap kinerja pejabat negara yang dianggap tidak profesional. Jadi pertanyaan kunci yang dilontarkan Pengacara Muda ini cukup sederhana, “mengapa oknum polisi melakukan ini, dan apa urgensinya buat mereka? Apalagi penanganan perkara oleh unit Tipidkor, dapat dianggap merupakan tindakan salah kamar.
Lebih lanjut berdasarkan penilaian yuridis PH Khairun Nafi itu, proses hukum dalam perkara ini sangat tidak berjalan sesuai prosedur. Itu jelas menunjukkan adanya indikasi pelanggaran hukum, sesuai Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI (Tahun Undang-Undang Prosedur Khusus yang Relevan), bahwa ‘Penyidik’ harus memahami siapa yang sebenarnya dirusak atau dirumorkan oleh postingan tersebut.
“Orang yang merasa dirusak nama baiknya atau dirugikan haruslah yang melaporkan kasus ini. Bukan sebaliknya, dimana kritik dibalas dengan laporan Polisi,” ujarnya.
Lebih jauh diungkapkan Ali, dalam konteks KUHP dan hukum pidana, prinsip dasar adalah adanya korban atau pihak yang dirusak atau dirumorkan. Mereka harus bisa membuktikan kerugian yang dialami. Jika tidak ada bukti kerugian yang jelas dan langsung, maka tuduhan ujaran kebencian atau penghinaan menjadi lemah.
Kasus ini menunjukkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum. Apalagi pelapor dalam Kasus ini hanyalah sekelompok Aliansi Pemuda Peduli Legislatif yang diragukan legalitasnya, maka Polisi harus bersikap netral dan objektif, tidak memihak kepada pihak tertentu. Jika terbukti ada kriminalisasi pesanan, maka ini merupakan pelanggaran serius yang perlu diambil Langkat hukum selanjutnya.
Hal ini juga menunjukkan perlunya peningkatan pengawasan publik terhadap kinerja aparat penegak hukum untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Proses hukum yang adil dan transparan sangat penting untuk menjamin keadilan bagi semua pihak dan untuk melindungi hak asasi manusia, termasuk hak untuk mengeluarkan pendapat dan mengajukan kritik. (Bimais)