METRO24.CO, MEDAN – Rotasi dan pengisian jabatan di Pemerintah Provinsi Sumut oleh Penjabat (Pj) Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Agus Fatoni disinyalir sarat kepentingan satu golongan PNS dengan mengabaikan merrit sistem.
Pelantikan dilakukan oleh Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Sumut Arief S Trinugroho di Aula Tengku Rizal Nurdin, Medan, Jumat (8/11/2024).
Kebijakan dan pelantikan ini mendapat apresiasi dari akademisi yang melihat langkah tersebut sebagai upaya pembaruan dalam tubuh birokrasi provinsi. Rotasi ini diharapkan mampu mempercepat peningkatan kinerja dan pelayanan kepada masyarakat Sumut.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (USU) Hatta Ridho menilai langkah tersebut merupakan strategi yang menjaga keseimbangan birokrasi.
Berbeda dengan Hatta Ridho, Komisioner Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Serikat Kerakyatan Indonesia (Sakti) Sumut, Zahendra Moeroe ST mengkritik rotasi itu. Menurutnya, hal itu seperti menganaktirikan ASN yang masuk melalui jalur umum atau non sekolah kedinasan seperti STPDN.
“Seharusnya Pj Gubernur Sumut yang merupakan pejabat penting di Depdagri paham merrit system di dalam jabatan dan wajib memberikan kepada ASN seluas-luasnya di lingkungan Pemprovsu untuk rotasi dan mutasi agar penyegaran jabatan terwujud,” tegas Zahendra.
Pj Gubsu juga wajib mengecek apakah ada ASN sudah mengikuti test kompetensi tapi belum mendapat kesempatan jabatan. Atau malah ada oknum pejabat tinggi di instasi Pemprovsu terkesan memberi janji manis kepada ASN yang sudah berpangkat 3 C untuk ikut tes tapi mengelak dengan alasan belum ada alokasi dari BKD. Padahal itu hanya akal-akalan untuk menyelamatkan ajangnya.
“Jangan sampai sudah ikut tes lulus hingga meninggal dunia tidak juga diangkat. Itu zalim namanya,” sebutnya.
Jadi Pj Gubsu wajib menjelaskan secara terbuka mengapa mutasi terjadi, atau memang ini didesain untuk memenangkan satu paslon cagub.
Apalagi, menurut Zahendra, ada penegasan Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Lolly Suhenty mengatakan kepala daerah yang melakukan mutasi pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) menjelang Pilkada Serentak 2024 terancam sanksi administrasi dan pidana.
Hal tersebut mengacu kepada Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang berbunyi Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali kota atau Wakil Wali kota dilarang melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
“Itu pasti masuk dugaan pelanggaran yang sifatnya administrasi pemilu. Nanti kita cek lagi,” ujar Lolly di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Jumat (8/11/2024).
Adapun pada Pasal 190 menjelaskan bahwa pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) atau Pasal 162 ayat (3) akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000 atau paling banyak Rp6.000.000.
Diketahui, Bawaslu telah mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dengan nomor surat 438/PM/K1/03/2024 perihal imbauan.
Dalam surat tersebut disebutkan kepala daerah baik gubernur wali kota dan bupati diseluruh Indonesia dilarang melakukan mutasi pegawai terhitung sejak tanggal 22 Maret 2024 hingga berakhirnya masa jabatan seorang kepala daerah.
Oleh karena itu, Lolly mengingatkan kepala daerah agar tidak melanggar ketentuan soal mutasi. Pasalnya, kondisi itu akan memberikan dampak yang sangat luas. “Dan dalam konteks ini, tentu saja potensi dugaan pelanggaran administrasinya akan besar,” jelasnya. (Red)