METRO24, MEDAN — Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nezar Patria mengatakan bahwa pekerja Indonesia yang sudah mulai menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Hal ini dijelaskan oleh Wamenkominfo dalam Konferensi Pers Kebijakan Teknologi AI di Indonesia di Hotel Grand Hyatt Jakarta Pusat.
Nezar mengklaim, data yang mereka terima menyebut 22,1 persen pekerja di Indonesia dari berbagai sektor, telah mengimplementasikan pemanfaatan AI, untuk mendukung kerja sehari-hari.
“Pemanfaatan AI di Indonesia sangat gencar saat ini dan AI telah membantu sekitar 22,1 persen pekerja di Indonesia dari berbagai sektor, seperti informasi dan komunikasi, jasa keuangan dan asuransi, pemerintahan dan pertahanan,” kata Nezar.
Dikutip dari siaran pers, Nezar mengutip data Statista dan Kearney & CSET, yang menyebut pemanfaatan kecerdasan buatan di Indonesia akan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar USD 366 Miliar pada tahun 2030.
Menurut Kominfo, jumlah itu memberikan setara dengan 40 persen Pendapatan Domestik Brutto ASEAN, yang meningkat dengan pemanfaatan AI.
“Nilai pasar global AI mencapai angka USD 142,3 Miliar di tahun 2023 berdasarkan data yang kita dapatkan,” kata Nezar.
“Untuk di tingkat ASEAN kontribusinya bagi PDB ASEAN di tahun 2030 diprediksi mencapai angka USD 1 Triliun. Jadi besar sekali, dan di Indonesia sendiri kontribusinya hampir 40 persen dari ASEAN itu yakni sebesar USD 366 Miliar,” dia menambahkan.
Meski begitu, Nezar mengingatkan ada berbagai tantangan yang muncul, akibat kehadiran AI. Dia memberikan contoh, algoritma AI berpotensi menimbulkan bias, halusinasi, dan diskriminasi.
Selain itu, dari sektor informasi, ada risiko information disorder, karena teknologi ini dapat menghasilkan misinformasi dan disinformasi, sehingga berpotensi menimbulkan bias, halusinasi, dan diskriminasi.
Surat Edaran Pemanfaatan AI yang akan diluncuran Kominfo, menurut Nezar, menjadi upaya kementerian untuk menghadirkan tata kelola kecerdasan buatan nasional yang lebih inklusif.
“(Surat Edaran AI) ini sifatnya lebih semacam panduan etika penggunaan AI. Jadi seperti soft regulation, semacam acuan normatif bagi para pelaku usaha terutama yang mengembangkan, mendesain, dan mengembangkan AI,” kata Wamenkominfo.
Ia berharap, dengan dilibatkannya stakeholders dalam mendiskusikan tata kelola AI, akan dapat memantik respons masyarakat. Nezar juga menyebut, berbagai masukan yang diterima melalui diskusi akan menjadi pertimbangan dalam menyusun kebijakan berikutnya.
Wamenkominfo mengatakan, ke depannya perlu mulai dipikirkan soal regulasi yang legally binding, dan berorientasi pada perlindungan pengguna dan masyarakat luas, dengan mempertimbangkan keamanan. (*)